Desa Santri dan Markas Pertempuran Muria

Oktober 18, 2017


Cahpati.id -- Mbah Salim, wajahnya keriput, usianya lebih dari satu abad. Namun, ingatannya masih tajam tentang pertempuran itu. Perjuangan melawan Belanda di bumi Muria. Dulur, yuk kita menikmati cerita Mbah Salim.

Desa Bageng yang termasuk dalam wilayah Kecamatan Gembong, Kabupaten Pati. Selain terkenal dengan jeruk Pamelonya, juga terkenal dengan santrinya. Warganya yang agamis, kehidupan yang harmonis serta alamnya yang asri cocok untuk menjadi target mencari pasangan idaman. Ehh.... Hehehe... Maaf ngelantur dulur.

Kawasan Muria merupakan salah satu titik pertempuran melawan Belanda. Perang di kawasan Muria antara prajurit Indonesia melawan Belanda berlangsung selama bertahun-tahun. Ditandai agresi militer pertama pada 21 Juli 1947, Belanda melakukan serangan besar-besaran dari laut, darat, dan udara. Peperangan membuat situasi pemerintahan sipil berjalan tidak normal. Pada 22 Desember 1948 atas perintah Markas Besar Komando Djawa dibentuklah pemerintahan militer untuk seluruh wilayah Jawa.

“Kui lo Le. Omah kui. Yen bengi tentara podo ngumpul, podo rapat. Yen wis bar rapat terus nyerbu Belanda. Yen awan tentara podo ndelik nang alas. Ngko yen bengi ngumpul meneh terus nyerbu.” Mbah Salim bercerita sambil menunjuk rumahnya.

Ini adalah salah satu strategi tentara kita yang sangat ditakuti Belanda, perang gerilya. Sebelum gerilya mereka rapat, mengatur strategi, menentukan target penyerangan. Satu persatu tentara Belanda ditumpas, kemudian senjata dilucuti. Mereka bergerak dalam senyap, mengendap endap, kemudian menyergap Belanda. Dengan satu gerakan leher tentara Belanda dipatahkan, senjata dilucuti, dikumpulkan untuk menghimpun kekuatan dan amunisi. Ini bukan berarti Tentara kita licik. Namun inilah strategi, dengan keterbatasan mereka tak menyerah. Merekalah Tentara yang sejatinya hanyalah santri yang dilatih. Dan berjuang dengan “Bismillah”.

Di kawasan Muria yang meliputi Kudus, Jepara, dan Pati dibentuk Komando Daerah Muria. Markasnya berada di Desa Bageng, Kecamatan Gembong, Pati. Di sini pemerintahan militer untuk kawasan Muria bermarkas dengan Kapten Ali Machmoedi sebagai komandannya.

Beberapa kali Ali Machmoedi dan pasukannya melakukan serangan dan penghadangan tentara Belanda hingga akhirnya saat bertempur di Desa Bergad, Pati, Ali Machmoedi tertembak dan gugur. Sejak saat itu Komando Daerah Muria dipimpin oleh Mayor Kusmanto dan memindahkan markasnya ke Desa Glagah Kulon, Kecamatan Dawe, Kudus. Mayor Kusmanto mempunyai pasukan elite yang bernama pasukan Macan Putih. Nama ini diambil dari mitos seekor macan sakti yang ada di sekitar markas.

Eksistensi Komando Daerah Muria berakhir setelah peristiwa Konferensi Meja Bundar (KMB). Kita tahu lewat KMB ini Belanda mengakui secara de facto dan de jure kemerdekaan Indonesia. Dan pemerintahan sipil kembali berjalan normal seperti sedia kala.

“Le, Deso Bageng iki dadi markas Tentara. Para Kiai ngumpul lan dedungo, poro tentara jaluk restu maring poro Kiai. Londo wis ntek akale. Deso Bageng arep di bom motor mabur. Motor mabur wis podo sliweran nang duwur. Si mbok ndelik nang ngisor amben. Poro Kiai namung dedungo, namun ngarep welase Allah. Alhamdulillah, kersane Allah. Bom ora iso mbledos nang tanah Bageng. Allah isih welas, alhamdulillah. Deso Bageng selamet. Londo ntek akale, bali nang negarane.” Mbah Salim mengakhiri ceritanya.

-BERSAMBUNG-

penulis: Puji
editor   : Nandar
gambar: Screenshoot film Sang Kiayi
desain  : Nandar

Artikel Terkait

Previous
Next Post »